Senin, 22 November 2010

All About Century

KRONOLOGI


KASUS CENTURY
            Bank Century pada awalnya bernama Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC) yang didirikan oleh Robert Tantular tahun 1989. Pada tahun 1999, Bank CIC mengalami kegagalan dalam melakukan penawaran umum terbatas (right issue) dan Robert Tantular dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia.

2003
Bank CIC didera masalah yang diindikasikan dengan adanya surat-surat berharga valuta asing sekitar Rp2 triliun, yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual. BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan bank tersebut.
2004
Bank CIC merger bersama Bank Danpac dan Bank Pikko yang kemudian berganti nama menjadi Bank Century. Surat-surat berharga valas terus bercokol di neraca bank hasil merger ini. BI menginstruksikan untuk dijual, tetapi tidak dilakukan oleh pemegang saham. Pemegang saham membuat perjanjian untuk menukar surat-surat berharga ini dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.
2005
BI mendeteksi surat-surat berharga valas di Bank Century sebesar US$210 juta.
30 Oktober dan 3 November 2008
Sebanyak US$56 juta surat-surat berharga valas jatuh tempo dan gagal bayar. Bank Century kesulitan likuiditas.
13 November 2008
Gubernur Bank Indonesia (BI) yang saat itu dijabat Boediono mengklarifikasi bahwa Bank Century kalah kliring atau tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah.

14 November 2008
Bank Century mengajukan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke BI senilai Rp 1 triliun sebagai pendanaan darurat dengan alasan sulit mendapat pendanaan. Namun BI akhirnya menyetujui fasilitas pendanaan Rp 600 miliar.
17 November 2008
Antaboga Delta Sekuritas yang dimilik Robert Tantutar mulai default membayar kewajiban atas produk discretionary fund yang dijual Bank Century sejak akhir 2007.
20 November 2008
BI Mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di hari yang sama, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS, melakukan rapat. Dalam rapat tersebut, Bank Indonesia melalui data per 31 Oktober 2008 mengumumkan bahwa rasio kecukupan modal atau CAR Bank Century minus
hingga 3,52 persen. Sebagai jalan keluarnya, diputuskanlah penambahan kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen adalah sebesar Rp 632 miliar.
21 November 2008
Ban Century diambil alih oleh LPS berdasarkan keputusan KKSK dengan surat Nomor 04.KKSK.03/2008. Robert Tantular, salah satu pemegang saham Bank Century, bersama tujuh pengurus lainnya dicekal. Pemilik lain, Rafat Ali Rizvi dan Hesham
Al-Warraq menghilang.
23 November 2008
LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp2,78 triliun untuk mendongkrak CAR menjadi 10%. Saat itu BI menilai untuk mencapai CAR sebesar 8 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2,655 triliun. Dalam peraturan LPS dikatakan bahwa lembaga dapat menambah modal sehingga CAR bisa mencapai 10 persen, yaitu Rp 2,776 triliun.
26 November 2008
Robert Tantular ditangkap dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Markas Besar Polri.
5 Desember 2008
Hingga Desember 2008, dana pihak ketiga yang ditarik nasabah dari Bank Century sebesar Rp 5,67 triliun. Penarikan itu berdampak pada tingkat kesehatan bank. Karena itu LPS mengucurkan dana lagi sebesar Rp 2,201 triliun.
9 Desember 2008
Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular.
31 Desember 2008
Bank Century mencatat kerugian Rp7,8 triliun pada 2008. Asetnya tergerus menjadi Rp5,58 triliun dari Rp14,26 triliun pada 2007.
3 Februari 2009
LPS menyuntikkan dana Rp1,5 triliun.
11 Mei 2009
Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI.
3 Juli 2009
Parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank Century terlalu besar.
21 Juli 2009
LPS menyuntikkan dana Rp630 miliar.
18 Agustus 2009
Robert Tantular dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp50 miliar subsider 5 bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya pada 15 Agustus, manajemen Bank Century menggugatnya sebesar Rp2,2 triliun.
27 Agustus 2009
Dewan Perwakilan Rakyat memanggil Menkeu Sri Mulyani, BI dan LPS untuk menjelaskan membengkaknya suntikan modal hingga Rp 6,7 triliun. Padahal menurut DPR, awalnya pemerintah hanya meminta persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century. Dalam rapat tersebut Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa jika Bank Century ditutup akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia.
3 September 2009
Kapolri menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat akan terus mengejar aset Robert Tantular sebesar US$19,25 juta, serta Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar US$1,64 miliar.
10 September 2009
Robert Tantular divonis 4 tahun penjara dan denda Rp50 miliar.
19 September 2009
Rapat Bamus di DPR memutuskan usulan hak angket kasus Bank Century berlanjut ke sidang Paripurna pada 1 Desember. Rapat Paripurna tersebut menyetujui untuk mengesahkan pansus skandal Bank Century pada rapat paripurna 4 Desember
2009.
4 Desember 2009
Pansus Century terbentuk melalui sidang paripurna DPR, didukung 503 anggota dari 560 anggota DPR.

            Kisruh Bank Century telah memaksa DPR untuk meminta BPK melakukan audit investigatif terkait penanganan bank tersebut oleh pemerintah. Audit investigatif adalah audit dengan tujuan khusus untuk membuktikan dugaan penyimpangan dalam bentuk: kecurangan (fraud), ketidakteraturan (irregularities), pengeluaran ilegal (illegal expenditures) atau penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) di bidang pengelolaan keuangan negara, yang memenuhi: (1) unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan atau (2) Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang harus diungkapkan oleh auditor serta ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang, kejaksaan atau kepolisian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ulum, 2009). Pada 23 November 2009, BPK RI menyerahkan hasil pemeriksaan Investigatif atas Kasus Bank Century kepada DPR di Gedung DPR, Jakarta. Berikut adalah beberapa poin temuan BPK:
1. Pengawasan Khusus Bank Century
            Menurut temuan BPK, Bank Indonesia seharusnya bertindak tegas terhadap Bank Century, terutama mengenai penerapan ketentuan Penyediaan Pencadangan Aktiva Produktif (PPAP) sesuai dengan ketentuan PBI nomor VI/9/PBI tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PBI/2005. Bank Century seharusnya ditetapkan dalam pengawasan khusus sejak 31 Oktober 2005. Pada kenyataanya baru masuk pengawasan khusus pada 6 November 2008.

2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
            Karena menghadapi kesulitan likuiditas, Bank Century mengajukan permohonan FPJB kepada BI pada 30 Oktober 2008 sebesar Rp 1 triliun. Permohonan tersebut diulangi pada 3 November 2008. Pada saat mengajukan permohonan FPJP, posisi CAR menurut analisis BI adalah 2,35 persen. Sedangkan, persyaratan untuk memperoleh FPJP sesuai dengan PBI Nomor 10/26/PBI 2008 tentang FPJP adalah bank memiliki CAR minimal 8 persen. Dengan demikian Bank Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.

3. Perubahan Peraturan BI soal FPJP
            Pada 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR minimal 8 persen menjadi CAR positif. Dengan perubahan ketentuan tersebut, serta menggunakan posisi CAR per 30 September sebesar 2,35 persen, BI menyatakan Bank Century memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP. Padahal, berdasarkan penelitian lebih lanjut menunjukkan posisi CAR Bank Century pada 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen sehingga seharusnya Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP. Selain itu, jaminan FPJP yang diperjanjikan Rp 467,99 miliar ternyata tidak secure.      Namun, berdasarkan perubahan PBI pada 14 November, BI menyetujui pemberian FPJP kepada Bank Century. Jumlah FPJP
yang telah disalurkan kepada Bank Century adalah Rp 689,39 miliar yang dicairkan pada 14 November 2008 sebesar Rp 356,8 miliar dan 17 November 2008 sebesar Rp 145,26 miliar dan 18 November 2008 sebesar Rp 187,3 miliar.

4. Penetapan BI, Century sebagai Bank Gagal
            Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20 November pukul 19.44 WIB, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank gagal. Alasannya, CAR per 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen dan bila tidak ditingkatkan menjadi 8 persen, bank dinilai tidak sehat. Hal ini disebabkan sampai saat ini pemegang saham tak dapat melakukan komitmennya untuk menambah modal dan usaha untuk mengundang masuknya investor baru tidak membawa hasil. Kondisi likuiditas GWM (giro wajib minimum) 19 November masih positif Rp 134 miliar (1,85 persen). Namun terdapat kewajiban RTGS dan kliring yang belum diselesaikan oleh Bank Century sebesar Rp 401 miliar sehingga GWM rupiah kurang dari 0 persen. Disamping itu kewajiban yang akan jatuh tempo pada 20 November 2008 sebesar Rp 458 miliar. Untuk menambah likuiditasnya, BI telah memberikan FPJP sebesar Rp 689 miliar namun mengingat penarikan dana nasabah jauh lebih besar, maka FPJP tersebut tidak mampu memperbaiki likuiditas bank. RDG membahas analisis dampak sistemik dari peneptapan Bank Century sebagai Bank Gagal. Analisis tersebut menggunakan kriteria sesuai dengan memorandum of understanding on operation between the financial supervision authority central bank and finance ministry of the European union, 1 Juni 2008.

5. Posisi Century di Industri Perbankan
            Bank Century tidak termasuk penting dalam industri perbankan. Alasannya, dana pihak ketiga bank mencapai 0,8 persen dari total DPK perbankan. Kredit bank juga sebesar 0,42 persen dari total kredit perbankan. Total aset Century terhadap perbankan juga tidak signifikan, hanya sebesar 0,72 persen. Dari sisi kredit, mayoritas diberikan dalam bentuk modal kerja (76,5 persen) untuk membiayai sektor industri pengolahan 21,79 persen, perdagangan, restoran, hotel, dan jasa keuangan. Dengan ukuran skala bank yang kecil, fungsi Bank Century bisa digantikan oleh banyak bank lain sejenis di industri perbankan. Namun, Century menghadapi persoalan karena ada transaksi antar bank yang mencapai 24,2 persen dari total aset Bank Century.

6. Penetapan KSSK, Century sebagai Bank Gagal
            Setelah melalui berbagai pembahasan antara BI, Departemen Keuangan dan LPS dalam rapat konsultasi KSSK tanggal 14, 17, 18, 19 November 2008, dengan memperhatikan surat Gubernur BI Nomor 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KSSK melakukan rapat KSSK pada 21 November 2008 pukul 04.25 - 06.00 WIB yang diawali dengan rapat Konsultasi KSSK pada 20 November pukul 23.00 WIB sampai dengan 21 November pukul 05.00 WIB. Rapat konsultasi diawali dengan presentasi BI yang menguraikan Bank Century sebagai Bank Gagal dan analisis dampak sistemik. Berdasarkan aturan rapat tersebut diketahui bahwa selain BI, peserta rapat lainnya pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan analisis BI yang menyatakan Bank Century ditengarai berdampak sistemik. Menanggapi pertanyaan dari peserta rapat lainnya, BI menyatakan sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan risiko sistemik atau tidak karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan atau biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Mengingat situasi yang tidak menentu maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan namun dengan meminimalisir cost keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore. Seperti saran LPS, Bank Century juga tidak mempunyai cukup dana untuk prefund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu. Setelah rapat konsultasi, dilanjutkan dengan rapat KSSK pada 21 November 2008 pukul 04.25- 06.00. Rapat dihadiri oleh Menkeu, Gubernur BI dan sekretaris KSSK yang memutuskan Bank Century sebagai Bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS. Keputusan KSSK tersebut ditindaklanjuti dengan rapat Koordinasi 21 November pukul 05.30 sampai selesai. Kemudian, penanganan Bank Century dilakukan oleh LPS sesuai UU Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS.

7. Suntikan Modal Century
Surat BI nomor 10/232/GB/rahasia tanggal 20 November 2008 kepada Menkeu Rp 632 miliar. Namun, dalam surat tersebut, BI tidak memberikan informasi mengenai beberapa risiko penurunan CAR, seperti informasi penurunan kualitas aset yang seharusnya diketahui oleh BI karena dugaan rekayasa akuntansi Bank Century dan penyimpangan oleh pemiliknya.

8. Pelanggaran-Pelanggaran Century
BPK menemukan adanya indikasi praktik operasi perbankan di Bank Century yang tidak sehat dan merugikan bank dan berpotensi merugikan negara, antara lain:
1. penggelapan hasil surat berharga senilai US$ 7 juta.
2. hasil penjualan surat-surat berharga Rp 30,28 miliar dijadikan jaminan pengambilan  kredit oleh pihak terkait.
3. pemberian kredit LC fiktif Rp 397,97 miliar pada pihak terkait dan pemberian LC fiktif sebesar US$ 75,5 juta.
4. surat-surat berharga Century tidak diterima oleh Bank Century karena masih dikuasai oleh salah satu pemegang saham.
5. manajemen Bank Century diduga melakukan pengeluaran biaya-biaya fiktif senilai Rp 209,8 miliar dan US$ 4,72 juta sejak 2004-2008.

            Karut marut persoalan Bank Century telah menyeret Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tanggungjawabnya atas pelaksanaan audit dana kampanye pemilu presiden 2009. Hal ini menyangkut dugaan anggota pansus bahwa dana Century mengalir kepada salah satu pasangan calon presiden. Sebagian pihak mulai meragukan hasil audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk oleh KPU. UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden telah secara tegas mengatur hal-hal seputar dana kampanye, mulai pasal 94 sampai dengan pasal 103. Besarnya sumbangan yang dapat diterima oleh pasangan calon diatur dalam pasal 96 yang menyatakan bahwa: (1) Dana Kampanye yang berasal dari perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dana Kampanye yang berasal dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 tidak boleh melebihi
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas. Selanjutnya pada pasal 100-102, UU ini mengatur bahwa laporan dana kampanye
tersebut harus diaudit oleh akuntan publik (KAP) yang ditunjuk oleh KPU dan dibiayai oleh APBN.
            Terkait dengan hal tersebut, KPU kemudian menerbitkan Peraturan KPU Nomor 50 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Sejalan dengan itu, pada 17 Juli 2009, Institut Akuntan Publik Indonesia menerbitkan Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 untuk menjadi acuan KAP yang ditunjuk oleh KPU. Uang negara yang digunakan untuk proses audit ini mencapai Rp 260.970.000 dengan rincian Rp 71.500.000 untuk biaya audit dana kampanye pasangan Megawati-Prabowo, Rp 98.500.000 untuk pasangan SBY-Boediono, dan Rp 90.970.000 untuk pasangan JK-Wiranto (Keputusan KPU Nomor : 169/K/PBJ-999/VII/2009, Nomor: 170/K/PBJ-999/VII/2009 dan Nomor : 171/K/PBJ-999/VII/2009). Hasil audit dana kampanye terhadap semua pasangan presiden tersebut menunjukkan bahwa semuanya “baik-baik saja” – dalam konteks ini auditor tidak diminta untuk memberikan pendapat tentang kewajaran laporan.


Kesimpulan


Menguji Kredibilitas Akuntan
            Dalam kedua konteks inilah – hasil audit BPK atas Bank Century dan hasil pemeriksaan KAP atas laporan dana kampanye pemilu presiden – kompetensi dan kredibilitas akuntan (auditor) mulai diragukan oleh beberapa pihak. Setidaknya terdapat tiga momentum dalam hal ini, yaitu:
Pertama, dalam keterangan di hadapan pansus Century, mantan Gubernur BI (Boediono) dan Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) secara gamblang menyatakan keraguannya terhadap hasil audit BPK.

Kedua, partai Demokrat yang sebelum pembentukan pansus mengaku menghormati temuan BPK (untuk kemudian mereka bergabung sebagai pengusung pansus), belakangan secara terang benderang juga meragukan hasil audit BPK. Salah seorang
Ketua DPP Partai Demokrat bahkan menyatakan bahwa anggota BPK tidak independen dan tidak profesional karena berasal dari anggota partai (tepatnya mantan).

Ketiga, setelah mendapatkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam rapat Pansus yang menunjukkan bahwa pasangan SBY-Boediono menerima aliran dana dari Bank Century, sejumlah anggota pansus – tentu saja di luar Demokrat dan PKB – dan para aktivis mendesak BPK untuk segera menyelidiki dan mengaudit perusahaan-perusahaan penyumbang dana kampanye kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden SBY-Boediono pada Pilpres 2009 lalu. Padahal, laporan dana kampanye tersebut sudah diaudit oleh KAP yang ditunjuk oleh KPU. Dalam hal ini saya melihat ada inkonsistensi perspektif, di satu sisi kredibilitas BPK diragukan atas hasil auditnya terhadap bank Century, namun di sisi lain justru auditor BPK lebih diandalkan untuk memeriksa (ulang) laporan dana kampanye pilpres 2009.
            Kredibilitas akuntan (auditor) tengah diuji dalam kasus ini. Jika temuan awal BPK yang disampaikan kepada DPR dapat dibuktikan oleh pansus – artinya benar bahwa ada pelanggaran dalam proses bailout bank Century – dan itu terkait dengan kepentingan politik, maka dengan sendirinya hal itu akan melemahkan hasil audit KAP atas laporan dana kampanye Pilpres 2009. Auditor KAP akan dianggap tidak profesional karena gagal menemukan penyimpangan terkait dana kampanye. Masyarakat tentu saja tidak mau tahu (atau memang mereka tidak tahu) bahwa proses audit itu tidak memeriksa seluruh dokumen, namun hanya menggunakan sampel saja. Kita tentu akan mempertanyakan, mengapa perusahaan X tidak dijadikan sampel oleh auditor padahal ia menyumbang cukup besar. Dalam laporan dana kampanye pasangan SBY-Boediono misalnya, terdapat 4 perusahaan yang beralamat sama dan menyumbang sebesar Rp 15 miliar. Selain itu juga terdapat 2 kelompok perusahaan lagi, yang masing-masing terdiri dari 5 dan 4 perusahaan yang juga memiliki alamat yang sama dan menyumbang masing-masing lebih dari Rp 5 miliar.
            Di sisi lain, tentu saja pemerintah mempunyai jawaban dan alasan atas kebijakan yang diambil. Terkait keputusan bahwa Bank Century merupakan bank gagal berdampak sistemik – sehingga harus dibailout – misalnya, analogi yang digunakan adalah: Jika ada rumah kecil di perkampungan padat penduduk yang terbakar, apa yang akan kita lakukan? Tentu kita akan langsung berupaya memadamkan api di rumah itu. Tanpa tanya-tanya dulu siapa pemilik rumah itu, apakah penjahat atau bukan, atau bagaimana rumah itu dibangun. Kepedulian kita hanya satu, padamkan api secepatnya agar tidak berkobar dan menjalar luas dan membakar seluruh isi kampung. Bahwa kemudian ternyata sang pemilik rumah adalah perampok dan pembunuh, itu urusan berikutnya dengan pihak yang berwenang. Tindakan penyelamatan Bank Century harus segera dilakukan, tanpa harus melihat siapa pemilik dan nasabahnya. Analognya adalah: Seseorang yang terindikasi terjangkit flu burung dari suhu tubuh yang tinggi akan segera ditolong dan diisolasi. Petugas medis tak akan bertanya atau menyalahkan kenapa orang itu bisa terjangkit. Kepedulian petugas medis saat itu hanya secepatnya menolong orang itu dan secepatnya pula mengisolasi agar penyakitnya tidak menulari orang lain.


Sumber :



0 komentar:

Posting Komentar